tren kredit motor

kredit motor di zaman sekarang sudah bukan hal yang aneh lagi. Demi memenuhi kebutuhan, orang ramai-ramai kredit motor untuk memudahkan transportasi. Padahal, kadang harga yang dibayarkan saat kredit lebih tinggi daripada harga yang dibayarkan saat tunai. Bagaimana dengan hukumnya?

Mengenai masalah ini sebenarnya harus dilihat secara mendalam mengenai metode dan akadnya. Kredit sendiri sebenarnya dibolehkan dalam hukum jual beli Islam. Disebutnya membeli barang dengan harga yang berbeda antara pembayaran dalam bentuk tunai dan bila dengan tenggang waktu. Istilahnya adalah bai` bit taqshid atau bai` bits-tsaman `ajil.

Beberapa syarat untuk melaksanakannya adalah,

1.Harga harus disepakati pada awal transaksi. Meskipun pelunasannya dilakukan kemudian. Misalnya: harga motor 12 juta bila dibayar tunai dan 15 juta bila dibayar dalam tempo 3 tahun.

2.Tidak boleh diterapkan sistem perhitungan bunga apabila pelunasan mengalami keterlambatan sebagaimana yang sering berlaku.

3.Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari praktek bai` gharar (penipuan).

Yusuf Al Qardawi menyatakan bahwa menjual kredit dengan menaikkan harga diperkenankan. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih). Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran dihutang dan sebagai jaminannya beliau menggadaikan perisainya. Ini menjadi dasar diperbolehkan jual beli dengan pembayaran dihutang dan perkreditan adalah salah satu bentuknya.

Nah, yang menjadikan riba adalah saat penjual menaikkan harga karena temponya, yang sering dilakukan para penjual sekarang ini. Tambahan harga tersebut yang berhubungan dengan masalah waktu adalah riba. Menurut jumhur ulama, jual beli kredit diperbolehkan dan seorang penjual boleh menaikkan harga menurut yang pantas selama tidak sampai pada batas kedzaliman. Kalau sampai harganya mendzalimi maka hukumnya haram.

Beberapa bentuk kredit motor yang menjurus pada riba, misalnya seseorang hendak membeli motor dengan kredit, maka ia dapat mendatangi salah satu showroom motor yang melayani penjualan dengan cara kredit. Setelah ia memilih motor yang diinginkan, dan menentukan pilihan masa pengkreditan, ia akan diminta mengisi formulir serta menandatanganinya, dan biasanya dengan menyertakan barang jaminan, serta uang muka. Bila harga motor tersebut dengan pembayaran tunai, adalah 10 juta maka ketika pembeliannya dengan cara kredit, harganya 12 juta atau lebih. Setelah akad jual beli ini selesai ditandatangani dan pembelipun telah membawa pulang motor yang ia beli, maka pembeli tersebut berkewajiban untuk menyetorkan uang cicilan motornya itu ke bank atau ke PT perkreditan, dan bukan ke showroom tempat ia mengadakan transaksi dan menerima motor yang ia beli tersebut. Nah, praktek seperti ini disebut hawalah (memindahkan piutang kepada pihak ketiga dengan ketentuan tertentu). Dasar hukumnya dibenarkan dalam syari’at, tapi, menjadi bermasalah apabila akadnya digabungkan dengan akad jual beli dalam satu transaksi.

Penafsiran pertama dari kasus tersebut, bank telah menghutangi pembeli motor tersebut uang sejumlah 10 juta dan dalam waktu yang sama bank langsung membayarkannya ke showroom tempat ia membeli motornya itu. Kemudian bank menuntut pembeli ini untuk membayar piutang tersebut dalam jumlah 12 juta lebih. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba jahiliyyah).

Penafsiran kedua adalah bank telah membeli motor tersebut dari showroom, dan menjualnya kembali kepada pembeli tersebut. Sehingga bila penafsiran ini yang benar, maka bank telah menjual motor yang ia beli sebelum ia pindahkan dari tempat penjual yaitu showroom ke tempatnya sendiri, sehingga bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor tersebut semuanya langsung dituliskan dengan nama pembeli tersebut, dan bukan atas nama bank yang kemudian di balik nama ke pembeli tersebut. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka perkreditan ini adalah salah satu bentuk rekasaya riba yang jelas-jelas diharamkan dalam syari’at.

Nah, contoh di atas salah satu bentuk perkreditan yang dilarang karena mengandung perniagaan riba. Solusinya adalah melaksanakan perkreditan yang tidak mengandung riba. Misalnya menempuh akad al wa’du bis syira’ (janji pembelian) yaitu dengan meminta kepada seorang pengusaha yang memiliki modal agar ia membeli terlebih dahulu barang yang dimaksud. Setelah barang yang dimaksud terbeli dan berpindah tangan kepada pengusaha tersebut, kita membeli barang itu darinya dengan pembayaran dicicil/terhutang. Tentu dengan memberinya keuntungan yang layak.

Bila tidak bisa dengan cara tersebut, sabar saja ya, sob. Tahan keinginan untuk mendapatkan barang tersebut dengan menabung dan berhemat, supaya nantinya kalau kita mendapatkan barang yang diinginkan tetap mendapatkan keberkahan dan keridhaan Allah ta’ala. Ulama menyatakan, “Barang siapa meninggalkan suatu hal karena Allah, niscaya Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik.”

Allahu a’lam.

annida-online.com/apakah-kreditmotor-sama-dengan

Leave a comment